BAB 2 PERILAKU ETIKA DALAM BISNIS
1. Lingkungan bisnis yang
mempengaruhi Perilaku Etika
Bisnis melibatkan hubungan
ekonomi dengan banyak kelompok orang yang dikenal sebagai stakeholders, yaitu:
pelanggan, tenaga kerja, stockholders, suppliers, pesaing, pemerintah dan
komunitas. Oleh karena itu para pebisnis harus mempertimbangkan semua
bagian dari stakeholders dan bukan hanya stockholdernya saja. Pelanggan,
penyalur, pesaing, tenaga kerja dan bahkan pemegang saham adalah pihak yang
sering berperan untuk keberhasilan dalam berbisnis. Lingkungan bisnis yang
mempengaruhi etika adalah lingkungan makro dan lingkungan mikro. Lingkungan
makro yang dapat mempengaruhi kebiasaan yang tidak etis yaitu bribery,
coercion, deception, theft, unfair dan discrimination. Maka dari itu dalam
perspektif mikro, bisnis harus percaya bahwa dalam berhubungan dengan supplier
atau vendor, pelanggan dan tenaga kerja atau karyawan.
”Etika bisnis merupakan pola
bisnis yang tidak hanya peduli pada profitabilitasnya saja, tapi juga
memerhatikan kepentingan stakeholder-nya. Etika bisnis tidak bisa
terlepas dari etika personal, keberadaan mereka merupakan kesatuan yang tidak
terpisahkan dan keberadaannya saling melengkapi. Etika bisnis sesorang
merupakan perpanjangan moda-moda tingkah lakunya atau
tindakan-tindakan konstan, yang membentuk keseluruhan citra diri atau akhlak
orang itu. Etika bisnis merupakan salah satu bagian dari prinsip etika yang
diterapkan dalam dunia bisnis. Istilah etika bisnis mengandung pengertian bahwa
etika bisnis merupakan sebuah rentang aplikasi etika yang khusus mempelajari
tindakan yang diambil oleh bisnis dan pelaku bisnis.”(Erni Rusyani Ernawan,
S.E., M.M., dosen tetap kopertis FE Unpas, 2003)
Berubahnya harapan publik
mengakibatkan perubahan amanat didalam bisnis yaitu keuntungan dalam berbisnis untuk
memberikan manfaat bagi lingkungan, dan bukan sebaliknya. Reaksi yang terjadi
di dalam bisnis pada perubahan dari keuntungan hanya merupakan keadaan saling
tergantung antara bisnis dan lingkungan menjadi lebih diperhatikan. Lingkungan
harus diperhatikan karena awalnya perhatian terhadap polusi udara pada cerobong
asap dan pipa pembuangan yang menyebabkan iritasi pernafasan dan penyakit.
Bagaimanapun juga masalah ini relatif terisolir jadi ketika polusi datang cukup
menimbulkan iritasi dan umumnya akan menjadi daftar peraturan yang dapat
dikendalikan meskipun pelaksanaan yang efektif tidak berarti dapat dipercaya.
Sedangkan
etika untuk akuntan profesional adalah apakah mereka terlibat di dalam
melakukan audit atau kepastian fungsi di manajemen, konsultan, atau sebagai
direktur seorang akuntan yang profesional dapat melihat masa lampau seperti
kesewenangan dalam akuntabiliatas organisasi dan fokus pada pengambilan
keputusan. Sejak para akuntan menyaksikan perubahan akuntabilitas perusahaan yang
makin meluas hanya pada shareholders ke stakeholders, ini mewajibkan para
akuntan untuk mempelajari dan mengerti perubahan ini dan bagaimana ini akan
berdampak pada fungsi mereka. Jika mereka tidak melakukan tindakan maka nasehat
atas tindakan mereka akan diberikan dan tidak lama lagi terdapat legal dan
ilegal konsekuensi untuk etika.
2. Kesaling - tergantungan
antara bisnis dan masyarakat
1).
Contoh penerapan moral dalam dunia bisnis:
a. Bersaing dengan sehat untuk mencapai target bisnis
b. Memperhatikan kesejahteraan karyawan ataupun golongan rendah
c. Tidak mudah tergoda dengan godaan yang cenderung akan merugikan orang lain
2). Contoh penerapan etika dalam dunia bisnis:
a. Pada saat menjelang hari raya, para anggota DPR dilarang menerima bingkisan
dalam bentuk apapun(pengendalian diri)
b. Pada saat ramadhan, pelaku bisnis mengadakan santunan kepada anak yatim
(Pengembangan tanggung jawab sosial)
c. menciptakan sebuah perencanaan yang akan digunakan dalam memajukan dunia
bisnis kedepannya(menerapkan konsep"pembangunan berkelanjutan")
d. Menaati segala peraturan yang telah ditetapkan perusahaan dan menjalankannya
dengan sebaik mungkin (konsekuen dan konsisten dengan aturan mainyang telah
disepakati bersama)
3). 4 kebutuhan dasar yang harus disepakati dr sebuah profesi:
a. kredibilitas: alasan yang masuk akal untuk bisa dipercaya.Seseorang yang
memiliki kredibilitasberarti dpt dipercayai.
b. Profesionalisme:komitmen para profesional trhdp profesinya. Komitmen tsb
ditunjukkan dgn kebanggan dirinya sbg tenaga profesioanal.
c Kualitas Jasa:kualitas jasa dapat diperoleh dgn cara membandingkan antara
pengharapan konsumen dgn penilaian mereka trhdap kinerja yang sebenarnya.
d. Kepercayaan:Suatu bentuk nyata, dimana berharganya diri sendiri. Kepercayaan
dalam bisnis sangat penting karena tanpa kepercayan bisnis sulit untuk
dijalani.
Lingkungan
Bisnis Yang Mempengaruhi Perilaku Etika
Tujuan dari sebuah bisnis kecil
adalah untuk tumbuh dan menghasilkan uang.Untuk
melakukan itu, penting bahwa semua karyawan di papan dan bahwa kinerja mereka
dan perilaku berkontribusi pada kesuksesan perusahaan.Perilaku karyawan,
bagaimanapun, dapat dipengaruhi oleh faktor eksternal di luar bisnis.Pemilik
usaha kecil perlu menyadari faktor-faktor dan untuk melihat perubahan perilaku
karyawan yang dapat sinyal masalah.
Budaya Organisasi
Keseluruhan budaya perusahaan dampak
bagaimana karyawan melakukan diri dengan rekan kerja, pelanggan dan pemasok. Lebih dari sekedar lingkungan
kerja, budaya organisasi mencakup sikap manajemen terhadap karyawan, rencana
pertumbuhan perusahaan dan otonomi / pemberdayaan yang diberikan kepada
karyawan. "Nada di atas" sering digunakan
untuk menggambarkan budaya organisasi perusahaan. Nada positif dapat membantu karyawan menjadi lebih produktif dan
bahagia.Sebuah nada negatif dapat menyebabkan ketidakpuasan karyawan, absen dan
bahkan pencurian atau vandalisme.
Ekonomi Lokal
Melihat seorang karyawan dari
pekerjaannya dipengaruhi oleh keadaan perekonomian setempat. Jika pekerjaan yang banyak dan
ekonomi booming, karyawan secara keseluruhan lebih bahagia dan perilaku mereka
dan kinerja cermin itu. Di sisi lain, saat-saat yang
sulit dan pengangguran yang tinggi, karyawan dapat menjadi takut dan cemas
tentang memegang pekerjaan mereka.Kecemasan
ini mengarah pada kinerja yang lebih rendah dan penyimpangan dalam penilaian. Dalam beberapa karyawan,
bagaimanapun, rasa takut kehilangan pekerjaan dapat menjadi faktor pendorong
untuk melakukan yang lebih baik.
Reputasi Perusahaan dalam Komunitas
Persepsi karyawan tentang bagaimana
perusahaan mereka dilihat oleh masyarakat lokal dapat mempengaruhi perilaku. Jika seorang karyawan menyadari
bahwa perusahaannya dianggap curang atau murah, tindakannya mungkin juga
seperti itu. Ini adalah kasus hidup sampai harapan. Namun, jika perusahaan dipandang sebagai pilar masyarakat dengan
banyak goodwill, karyawan lebih cenderung untuk menunjukkan perilaku serupa
karena pelanggan dan pemasok berharap bahwa dari mereka.
Persaingan di Industri
Tingkat daya saing dalam suatu
industri dapat berdampak etika dari kedua manajemen dan karyawan, terutama
dalam situasi di mana kompensasi didasarkan pada pendapatan. Dalam lingkungan yang sangat
kompetitif, perilaku etis terhadap pelanggan dan pemasok dapat menyelinap ke
bawah sebagai karyawan berebut untuk membawa lebih banyak pekerjaan. Dalam industri yang stabil di mana menarik pelanggan baru tidak
masalah, karyawan tidak termotivasi untuk meletakkan etika internal mereka
menyisihkan untuk mengejar uang.
Kesaling
Tergantungan Adalah Bisnis Dan Masyarakat
Alam telah mengajarkan kebijaksanaan tentang betapa hubungan yang harmonis
dan kesalingtergantungan itu adalah amat penting. Bumi tempat kita berpijak,
masih setia bekerja sama dan berkolaborasi dalam tim dan secara tim dengan
planet-planet lain, namun penghuninya kebanyakan telah berjalan
sendiri-sendiri. Manusia yang konon khalifah di bumi, merasa sudah tidak
membutuhkan manusia lainnya. Bukanlah kesalingtergantungan yang dibina,
melainkan ketergantungan yang terus diusung.
Kesalingtergantungan bekerja didasarkan pada relasi kesetaraan,
egalitarianisme. Manusia bekerjasama, bergotong-royong dengan sesamanya
memegang prinsip kesetaraan. Tidak akan tercipta sebuah gotong-royong jika
manusia terlalu percaya kepada keunggulan diri dibanding yang lain, entah itu
keunggulan ras, agama, suku, ekonomi dsb.
Wajah Indonesia yang carut marut dewasa ini adalah karena terlalu membuncahnya
subordinasi relasi manusia atas manusia lain. Negara telah dikuasai oleh jenis
manusia yang memiliki mentalitas pedagang. Pucuk kekuasaan telah disulap
menjadi lahan bisnis, dimana dalam dunia bisnis maka yang dikenal adalah tuan
dan budak, majikan dan buruh. Dalam hal ini, yang tercipta adalah iklim
ketergantungan, bukan kesalingtergantungan.
Di negara lain, kelas proletar yang dahulu diperjuangkan, toh setelah meraih
kekuasaan, pada gilirannya ia menjelma menjadi kelas yang istimewa, yang rigid
terhadap kritik. Hukum diselewengkan, dan bui menjadi jawaban praktis bagi para
oposan. Proletar melakukan kesalahan yang sama dengan borjuis yang dilawannya
habis-habisan.
Jika borjuis menggunakan sentimen agama untuk mengelabui rakyat jelata, maka
proletar menganggap agama sebagai candu rakyat. Yang satu mengatasnamakan
agama, yang lainnya mengatasnamakan rakyat miskin. Namun keduanya memiliki
tujuan yang sama: kekuasaan. Kekuasaan negara, dan juga agama telah menjadi
petualangan bisnis, dimana siapa saja yang berkuasa maka kekayaan hendak
menumpuk dalam istananya dengan benteng menjulang, sementara secuil saja kekayaan
yang dinikmati mereka yang bekerja keras.
Pola relasi negara kita dengan negara luar layak dibenahi. Bangsa kita harus
memiliki keberanian yang cukup untuk bisa pula mendesakkan cita-cita negara
kita sesuai Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 kepada mereka. Bangsa kita
harus memiliki nyali yang cukup untuk menolak agenda mereka yang bisa merusak
kemerdekaan yang telah susah payah diraih. Hubungan luar negeri kita harus
berubah dari ketergantungan, menjadi kesalingtergantungan, sebagai
bangsa-bangsa yang sejajar dan sederajat. Kemerdekaan dan kebebasan saja belum
cukup, namun saat ini penting kemerdekaan untuk hidup merdeka, kebebasan untuk hidup bebas.
Setiap orang warga negara ini, bahkan warga seluruh dunia memiliki
kebutuhan individu. Kebutuhan akan makan, tempat tinggal yang nyaman, pekerjaan
dsb sejatinya bukanlah kebutuhan individu atau segelintir orang saja,
melainkan seluruh orang yang hidup di dunia ini membutuhkannya.
Setiap orang tidak akan mampu mencukup kebutuhannya sendiri tanpa
semangat gotong-royong, kesalingtergantungan, kerjasama, kolaborasi dengan orang lain.
3.Kepedulian Pelaku Bisnis Terhadap Etika
Korupsi,
kolusi, dan nepotisme yang semakin
meluas
di masyarakat yang sebelumnya hanya di tingkat pusat dan sekarang meluas 4
sampai
ke daerah-daerah, dan meminjam istilah guru bangsa yakni Gus Dur,
korupsi
yang sebelumnya di bawah meja, sekarang sampai ke meja-mejanya
dikorupsi
adalah bentuk moral hazard di kalangan ekit politik dan elit birokrasi. Hal ini
mengindikasikan
bahwa di sebagian masyarakat kita telah terjadi krisis moral dengan
menghalalkan
segala mecam cara untuk mencapai tujuan, baik tujuan individu
memperkaya
diri sendiri maupun tujuan kelompok untuk eksistensi keberlanjutan
kelompok.
Terapi ini semua adalah pemahaman, implementasi dan investasi etika
dan
nilai-nilai moral bagi para pelaku bisnis dan para elit politik.
Dalam kaitan dengan etika bisnis, terutama bisnis berbasis syariah,
pemahaman para pelaku usaha terhadap ekonomi syariah selama ini masih
cenderung pada sisi "emosional" saja dan terkadang
mengkesampingkan konteks
bisnis itu sendiri. Padahal segmen pasar dari ekonomi syariah cukup luas,
baik itu
untuk usaha perbankan maupun asuransi syariah. Dicontohkan, segmen pasar
konvensional, meski tidak "mengenal" sistem syariah, namun
potensinya cukup
tinggi. Mengenai implementasi etika bisnis tersebut, Rukmana mengakui
beberapa
pelaku usaha memang sudah ada yang mampu menerapkan etika bisnis tersebut.
Namun, karena pemahaman dari masing-masing pelaku usaha mengenai etika
bisnis berbeda-beda selama ini, maka implementasinyapun berbeda pula,
Keberadaan etika dan moral pada diri seseorang atau sekelompok orang
sangat tergantung pada kualitas sistem kemasyarakatan yang melingkupinya.
Walaupun seseorang atau sekelompok orang dapat mencoba mengendalikan
kualitas etika dan moral mereka, tetapi sebagai sebuah variabel yang sangat
rentan
terhadap pengaruh kualitas sistem kemasyarakatan, kualitas etika dan
moral
seseorang atau sekelompok orang sewaktu-waktu dapat berubah. Baswir (2004)
berpendapat bahwa pembicaraan mengenai etika dan moral bisnis sesungguhnya
tidak terlalu relevan bagi Indonesia. Jangankan masalah etika dan moral,
masalah
tertib hukum pun masih belum banyak mendapat perhatian. Sebaliknya, justru
sangat lumrah di negeri ini untuk menyimpulkan bahwa berbisnis sama artinya
dengan menyiasati hukum. Akibatnya, para pebisnis di Indonesia tidak dapat
lagi
membedakan antara batas wilayah etika dan moral dengan wilayah hukum.
Wilayah
etika dan moral adalah sebuah wilayah pertanggungjawaban pribadi. Sedangkan
wilayah hukum adalah wilayah benar dan salah yang harus
dipertanggungjawabkan
di depan pengadilan. Akan tetapi memang itulah kesalahan kedua dalam
memahami
masalah etika dan moral di Indonesia. Pencampuradukan antara wilayah etika
dan
moral dengan wilayah hukum seringkali menyebabkan kebanyakan orang
Indonesia 5
tidak bisa membedakan antara perbuatan yang semata-mata tidak sejalan
dengan
kaidah-kaidah etik dan moral, dengan perbuatan yang masuk kategori
perbuatan
melanggar hukum. Sebagai misal, sama sekali tidak dapat dibenarkan bila
masalah
korupsi masih didekati dari sudut etika dan moral. Karena masalah korupsi
sudah
jelas dasar hukumnya, maka masalah itu haruslah didekati secara hukum.
Demikian
halnya dengan masalah penggelapan pajak, pencemaran lingkungan, dan
pelanggaran hak asasi manusia.
4. Perkembangan Dalam Etika Bisnis
Berikut
perkembangan etika bisnis
1. Situasi Dahulu
Pada awal sejarah filsafat, Plato, Aristoteles, dan filsuf-filsuf Yunani lain
menyelidiki bagaimana sebaiknya mengatur kehidupan manusia bersama dalam negara
dan membahas bagaimana kehidupan ekonomi dan kegiatan niaga harus diatur.
2. Masa Peralihan: tahun 1960-an
ditandai pemberontakan terhadap kuasa dan otoritas di Amerika Serikat (AS),
revolusi mahasiswa (di ibukota Perancis), penolakan terhadap establishment
(kemapanan). Hal ini memberi perhatian pada dunia pendidikan khususnya manajemen,
yaitu dengan menambahkan mata kuliah baru dalam kurikulum dengan nama Business
and Society. Topik yang paling sering dibahas adalah corporate social
responsibility.
3. Etika Bisnis Lahir di AS: tahun 1970-an
sejumlah filsuf mulai terlibat dalam memikirkan masalah-masalah etis di sekitar
bisnis dan etika bisnis dianggap sebagai suatu tanggapan tepat atas krisis
moral yang sedang meliputi dunia bisnis di AS.
4. Etika Bisnis Meluas ke Eropa: tahun 1980-an
di Eropa Barat, etika bisnis sebagai ilmu baru mulai berkembang kira-kira 10
tahun kemudian. Terdapat forum pertemuan antara akademisi dari universitas
serta sekolah bisnis yang disebut European Business Ethics Network (EBEN).
5. Etika Bisnis menjadi Fenomena Global: tahun 1990-an
tidak terbatas lagi pada dunia Barat. Etika bisnis sudah dikembangkan di
seluruh dunia. Telah didirikan International Society for Business, Economics,
and Ethics (ISBEE) pada 25-28 Juli 1996 di Tokyo.
Pengertian Etika Bisnis
Etika bisnis merupakan studi yang dikhususkan mengenai moral yang benar dan
salah. Studi ini berkonsentrasi pada standar moral sebagaimana diterapkan dalam
kebijakan, institusi, dan perilaku bisnis.
Dalam menciptakan etika bisnis, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan,
antara lain adalah:
1. Pengendalian diri
2. Pengembangan tanggung jawab social (social responsibility)
3. Mempertahankan jati diri dan tidak mudah untuk terombang-ambing oleh
pesatnya perkembangan informasi dan teknologi
4. Menciptakan persaingan yang sehat
5. Menerapkan konsep “pembangunan berkelanjutan”
6. Menghindari sifat 5K (Katabelece, Kongkalikong, Koneksi, Kolusi, dan Komisi)
7. Mampu menyatakan yang benar itu benar
8. Menumbuhkan sikap saling percaya antara golongan pengusaha kuat dan golongan
pengusaha ke bawah
9. Konsekuen dan konsisten dengan aturan main yang telah disepakati bersama
10. Menumbuhkembangkan kesadaran dan rasa memiliki terhadap apa yang telah
disepakati
11. Perlu adanya sebagian etika bisnis yang dituangkan dalam suatu hokum
positif yang berupa peraturan perundang-undangan
Ada 3 jenis masalah yang dihadapi dalam Etika yaitu
1. Sistematik
Masalah-masalah sistematik dalam etika bisnis pertanyaan-pertanyaan etis yang
muncul mengenai sistem ekonomi, politik, hukum, dan sistem sosial lainnya
dimana bisnis beroperasi.
2. Korporasi
Permasalahan korporasi dalam perusahaan bisnis adalah pertanyaan-pertanyaan
yang dalam perusahaan-perusahaan tertentu. Permasalahan ini mencakup pertanyaan
tentang moralitas aktivitas, kebijakan, praktik dan struktur organisasional
perusahaan individual sebagai keseluruhan.
3. Individu
Permasalahan individual dalam etika bisnis adalah pertanyaan yang muncul
seputar individu tertentu dalam perusahaan. Masalah ini termasuk pertanyaan
tentang moralitas keputusan, tindakan dan karakter individual.
4. Perkembangan dalam etika
bisnis
Di akui bahwa sepanjang sejarah kegiatan perdagangan
atau bisnis tidak pernah lluput dari sorotan etika. Perhatian etika untuk
bisnis dapat dikatakan seumur dengan bisnis itu sendiri. Perbuatan menipu dalam
bisnis , mengurangi timbangan atau takaran, berbohong merupakan contoh-contoh
kongkrit adanya hubungan antara etika dan bisnis. Namun denikian bila menyimak
etika bisnis sperti dikaji dan dipraktekan sekarang, tidak bisa disangkal bahwa
terdapat fenomena baru dimana etika bisnis mendapat perhatian yang besar dan
intensif sampai menjadi status sebagai bidang kajian ilmiah yang berdiri
sendiri.
Etika bisnis mencapai status ilmiah dan akademis
dengan identitas sendiri, pertama kali timbul di amrika srikat pada tahun
1970-an. Untuk memahaminya, menurut Richard De George, prtama-tama perlu membedakan
antara ethics in business dan business ethics. Sejak ada bisnis, sejak itu pula
dihubungkan dengan etika, sebagaimana etika selalu dikaitkan dengan
wilayah-wilayah lain dalam kehidupan manusia seprti politik, keluarga,
sksualitas dan lain-lain. Inilah etika dalam bisnis, tetapi belum memiliki
identitas dan corak tersendiri. Sedangkan etika bisnis sebagai suatu bidang
tersendiri masih berumur muda.
Untuk memahami etika bisnis De George
membedakannya kepada lima periode: situasi dahulu:berabad-abad lamanya etika
membicarakan tentang masalah ekonomi dan bisnis sbagai salah satu topik
disamping sekian banyak topik lain. Pada masa ini masalah moral disekitar
ekonomi dan bisnis disoroti dari sudut pandang teologi.
Masa peralihan tahun 1960-an, pada saat ini
terjadi perkembangan baru yang dapat disebut sbagai prsiapan langsung bagi
timbulnya etika bisnis. Di amerika serikat dan dunia barat pada umumnya
ditandai oleh pemberontakan terhadap kuasa dan otoritas penolakan terhadap
establishment yang diperkuat oleh situasi demoralisasi baik dalam bidang
polotik, sosial, lingkungan dan ekonomi. Pada saat ini juga timbul anti
konsumerisme. Dengan situasi dan kondisi seperti ini, dunia pendidikan
memberikan respon dengan cara yang berbeda-beda, salah satunya adalah memberikan
perhatian khusus kepada sosial issue dalam kuliah manajemen. Memasukan mata
kuliah baru ke dalam kurikulum dengan nama busines and society and coorporate
sosial responsibility, walaupun masih menggunakan pendekatan keilmuan yang
beragam minus etika filosofis.
Masa lahirnya etika bisnis terdapat dua faktor
yang mendorong kelahiran etika bisnis pada tahun 1970-an. Pertama sejumlah
filosof mulai terlibat dalam memikirkan masalah-masalah sekitar bisnis dan
etika bisnis sebagai suatu tanggapan atas krisis moral yang sedang melputi
dunia bisnis di Amerika Serikat. Kedua terjadinya krisis moral yang dialami
oleh dunia bisnis. Pada saat ini mereka bekerja sama khususnya dengan ahli
ekonomi dan manejemen dalam meneruskan tendensi etika terapan. Norman E. Bowie
menyebutkan bahwa kelahiran etika bisnis ini disebabkan adanya kerjasama
interdisipliner, yaitu pada konferesi perdana tentang etika bisnis yang
diselanggarakan di universitas Kansas oleh philosophi Departemen bersama
colledge of business pada bulan November 1974.
Masa eika bisnis melus ke Eropa, etika bisnis
mulai merambah dan berkembang setelah sepuluh tahun kemudian. Hal ini
pertama-tama ditandai dengan semakin banyaknya perguruan tinggi di Eropa Barat
yang mencantumkan mata kuliah etika bisnis. Pada taun1987 didirkan pula
European Ethics Nwork (EBEN) yang bertujuan menjadi forum pertemuan antara
akademisi dari universitas, sekolah bisnis, para pengusaha dan wakil-wakil dari
organisasi nasional da nternasional.
Masa etika bisnis menjadi fenomena global pada
tahun 1990-an, etika bisnis telah menjadi fenomena global dan telah bersifat
nasional, internasional dan global seperti bisnis itu sendiri. Etika bisnis
telah hadir di Amerika Latin , ASIA, Eropa Timur dan kawasan dunia lainnya. Di
Jepang yang aktif melakukan kajian etika bisnis adalah institute of moralogy
pada universitas Reitaku di Kashiwa-Shi. Di india etika bisnis dipraktekan oleh
manajemen center of human values yang didirikan oleh dewan direksi dari indian
institute of manajemen di Kalkutta tahun 1992.
Di indonesia sendiri pada beberape perguruan
tinggi terutama pada program pascasarjana telah diajarkan mata kuliah etika
isnis. Selain itu bermunculan pula organisasi-organisasi yang melakukan
pengkajian khusus tentang etika bisnis misalnya lembaga studi dan pengembangan
etika usaha indonesia (LSPEU Indonesia) di jakarta.
5. Etika bisnis dan Akuntan
Tujuan utama bisnis adalah mengejar keuntungan
atau lebih tepatnya keuntungan adalah hal yang pokok bagi kelangsungan bisnis,
walaupun bukan merupakan tujuan satu-satunya. Dari sudut pandang etika,
keuntungan bukanlah hal yang buruk. Pertama, keuntungan memungkinkan perusahaan
bertahan dalam kegiatan bisnisnya. Kedua, tanpa memperoleh keuntungan, tidak
ada ivestor yang bersedia menanamkan modalnya, dan karena itu tidak akan
terjadi aktivitas ekonomi yang menjamin kemakmuran nasional. Ketiga, keuntungan
memungkinkan perusahaan untuk tidak hanya bertahan melainkan juga dapat
menghidupi karyawan-karyawannya.
Dalam
bisnis yang modern ini, para pelaku bisnis dituntut untuk menjadi orang-orang
yang profesional di bidangnya. Mereka dituntut mempunyai keahlian dan
keterampilan bisnis yang melebihi keterampilan dan keahlian bisnis orang
kebanyakan lainnya. Kaum profesional bisnis ini dituntut untuk memperlihatkan
kinerja tertentu yang berada diatas rata-rata kinerja pelaku bisnis amatir.
Kinerja ini tidak hanya menyangkut aspek bisnis, manajerial, dan organisasi
teknis murni, melainkan juga menyangkut aspek etis. Kinerja yang menjadi
prasyarat keberhasilan bisnis ini juga menyangkut komitmen moral, integritas
moral, disiplin, loyalitas, kesatuan visi moral, pelayanan, dan sikap
mengutamakan mutu, penghargaan terhadap hak dan kepentingan pihak-pihak terkait
yang berkepentingan (stakeholder), yang lama kelamaan akan berkembang menjadi
sebuah etos bisnis dalam sebuah perusahaan.
Tekanan ekonomi dan bisnis yang kompetitif
Dalam persaingan
bisnis yang ketat, para pelaku bisnis sadar bahwa perusahaan yang unggul bukan
hanya perusahaan perusahaan yang mempunyai kinerja bisnis yang baik, melainkan
juga perusahaan yang mempunyai kinerja etis, etos yang baik. Hanya perusahaan
yang mampu melayani kepentingan semua pihak yang berbisnis dengannya,
mempertahankan mutu, mampu memenuhi permintaan pasar dengan tingkat harga,
kualitas, dan waktu yang tepat yang akan menang. Hanya perusahaan yang mampu
menawarkan barang dan jasa sesuai dengan apa yang dianggapnya baik dan diterima
masyarakat itulah yang akan berhasil dan bertahan lama.
Hal yang paling pokok
untuk bisa untung dan bertahan dalam pasar yang penuh persaingan adalah sejauh
mana suatu perusahaan bisa merebut dan mempertahankan kepercayaan konsumen dan
tentunya ini bukanlah merupakan hal yang mudah. Karena dalam pasar yang bebas
dan terbuka, dimana beragam barang dan jasa yang ditawarkan dengan harga dan
mutu yang kompetitif, sekali konsumen merasa dirugikan mereka akan berpaling
dari perusahaan tersebut. Hal ini akan memiliki efek berantai yang mempengaruhi
konsumen lainnya sehingga lama kelamaan jika perusahaan tidak berhati-hati,
mereka akan dijauhi oleh semua konsumen dan ini sangat disadari betul oleh
semua perusahaan. Kepercayaan konsumen hanya mungkin dijaga dengan
memperlihatkan citra bisnisnya sebagai bisnis yang baik dan etis.
Pendekatan stakeholder
Pendekatan
stakeholder adalah cara mengamati dan menjelaskan secara analitis bagaimana
berbagai unsur dipengaruhi dan mempengaruhi keputusan dan tindakan bisnis.
Pendekatan ini mempunyai satu tujuan imperatif: bisnis harus dijalankan
sedemikian rupa agar hak dan kepentingan semua pihak terkait yang
berkepentingan dengan suatu kegiatan bisnis dijamin, diperhatikan, dan
dihargai. Dasar pemikiran pendekatan ini adalah bahwa semua pihak yang memiliki
kepentingan dalam suatu kegiatan bisnis terlibat didalamnya karena ingin
memperoleh keuntungan, maka hak kan kepentingan mereka harus diperhatikan dan
dijamin.
Supaya bisnis dari
perusahaan dapat berhasil dan bertahan lama, perusahaan manapun dalam kegiatan
bisnisnya dituntut, atau menuntut dirinya, untuk menjamin dan menghargai hak
dan kepentingan semua pihak yang terkait dengan bisnisnya. Jika salah satu saja
dari pihak yang berkepentingan dirugikan, pihak tersebut tidak akan mau lagi
menjalankan bisnis dengan perusahaan tersebut. Bahkan, pihak yang belum
menjalin bisnis dengannya juga akan menganggap perusahaan tersebut sebagai
perusahaan yang harus diwaspadai dalam relasi bisnis selanjutnya.
Peran Pemerintah
Syarat utama untuk
menjamin sebuah sistem ekonomi pasar yang fair dan adil adalah
perlunya suatu peran pemerintah yang merupakan kombinasi dari prinsipno-intervention,
dan prinsip campur tangan, khususnya demi menegakkan keadilan. Dalam teori
Smith, peran bahkan campur tangan pemerintah tidak ditolak sama sekali atas
dasar prinsip no-harm, yaitu bahwa demi menegakkan keadilan no-harm,
pemerintah harus campur tangan.
Karena itu, dalam
sistem ekonomi pasar, pemerintah dibatasi perannya hanya pada tingkat minimal,
tetapi sekaligus efektif. Minimal karena pemerintah dibatasi perannya hanya
pada tiga tugas utama. Pertama, tugas melindungi masyarakat dari kekerasan dan
invasi dari masyarakat merdeka lainnya; kedua, tugas melindungi, sebisa mungkin
setiap anggota masyarakat dari ketidakadilan dari setiap anggota lainnya, atau
tugas menjamin keadilan secara ketat; ketiga, tugas membangun dan mengelola
pekerjaan-pekerjaan umum tertentu dan lembaga-lembaga umum tertentu yang tidak
bisa dijalankan oleh swasta karena tidak menguntungkan, tetapi sangat berguna
bagi kehidupan bersama.
Lingkungan Etis untuk Akuntan Profesional
Timbul dan
berkembangnya profesi akuntan publik di suatu negara adalah sejalan dengan
berkembangnya perusahaan dan berbagai bentuk badan hukum perusahaan di negara
tersebut. Jika perusahaan-perusahaan di suatu negara berkembang sedemikian rupa
sehingga tidak hanya memerlukan modal dari pemiliknya, namun mulai memerlukan
modal dari kreditur, dan jika timbul berbagai perusahaan berbentuk badan hukum
perseroan terbatas yang modalnya berasal dari masyarakat, jasa akuntan publik mulai
diperlukan dan berkembang. Dari profesi akuntan publik inilah masyarakat
kreditur dan investor mengharapkan penilaian yang bebas tidak memihak terhadap
informasi yang disajikan dalam laporan keuangan oleh manajemen perusahaan.
Profesi akuntan publik menghasilkan berbagai jasa bagi
masyarakat, yaitu jasaassurance, jasa atestasi, dan jasa nonassurance.
• Jasa assurance adalah
jasa profesional independen yang meningkatkan mutu informasi bagi pengambil
keputusan.
Jasa atestasi adalah suatu pernyataan pendapat,
pertimbangan orang yang independen dan kompeten tentang apakah asersi suatu
entitas sesuai dalam semua hal yang material, dengan kriteria yang telah
ditetapkan. Jasa atestasi terdiri dari audit, pemeriksaan (examination), review,
dan prosedur yang disepakati (agreed upon procedure).
• Jasa nonassurance adalah
jasa yang dihasilkan oleh akuntan publik yang di dalamnya ia tidak memberikan
suatu pendapat, keyakinan negatif, ringkasan temuan, atau bentuk lain
keyakinan. Contoh jasa nonassurance yang dihasilkan oleh profesi akuntan publik
adalah jasa kompilasi, jasa perpajakan, jasa konsultasi.
Profesi akuntan
publik bertanggung jawab untuk menaikkan tingkat keandalan laporan keuangan
perusahaan-perusahaan, sehingga “masyarakat keuangan” memperoleh informasi
keuangan yang handal sebagai dasar untuk memutuskan alokasi sumber-sumber
ekonomi.
Belajar dari masa Lalu Profesi Akuntansi: Kasus
Enron-AA dan Worldcom
Kasus WorldCom
WorlCom merupakan
perusahaan telekomunikasi yang menyediakan berbagai macam produk di seluruh
dunia seperti data, Internet, komunikasi telepon, layanan telekonfrens melalui
video, sampai penjualan kartu telepon prabayar untuk sambungan internasional.
Perusahaan dengan kode saham Wcom di bursa Nasdaq ini memiliki 73.000 pegawai
yang tersebar di seluruh dunia. Sebanyak 8.300 di antaranya adalah pegawai yang
tinggal di Eropa, Timur Tengah, dan Afrika. Skandal WorldCom mencuat setelah
perusahaan ini mengaku telah mengembungkan keuntungannya hingga US$ 3,9 milyar
pada periode Januari 2001 dan Maret 2002. Pada tahun 2001 hingga awal 2002,
WorldCom memasukan US$ 3,9 milyar dollar AS yang merupakan biaya operasi normal
ke dalam pos investasi. Hal ini memungkinkan perusahaan tersebut menekan biaya
selama bertahun-tahun.
Dengan hilangnya pos
biaya operasional ini, maka pos keuntungan menjadi lebih besar karena biaya
yang seharusnya mengurangi keuntungan sudah diperkecil. Dengan keuntungan yang
terlihat besar, maka akan menunjukkan bahwa kinerja WorldCom sangat bagus.
Saham WorldCom yang dicatatkan di bursa tahun 1999 pada harga US$ 62, langsung
anjlok 94 persen sejak Januari 2002 akibat mencuatnya skandal tersebut. Selain
itu setelah perginya pendiri dan chief executive officer WorldCom,
Bernie Ebbers, pada bulan April 2002, skandal lainnya mencuat. Diketahui Ebbers
meminjam jutaan dollar AS (US$ 400 juta) dari perusahaan tersebut untuk
menanggung kelebihan harga yang harus dibayarnya untuk saham-saham perusahaan
itu sendiri.
Pada akhir tahun 2000
hingga pertengahan tahun 2002, pemerintah AS mengklaim Ebbers mengintimidasi
CFO (chief financial officer) Scott Sullivan untuk menutupi pengeluaran
yang tidak terkontrol yang mencapai miliaran dolar dan menyebutnya sebagai
pendapatan yang tidak selayaknya. "Ia adalah WorldCom dan WorldCom adalah
Ebbers. Ia membangun perusahaan itu. Ia melarikan diri, tentu ia yang harus
bertanggung jawab atas kebocoran itu," ujar Jaksa William Johnson kepada
juri.
Namun pengacara
Ebbers membantah bahwa kebocoran itu adalah tanggung jawab Sullivan. Sebelumnya
Sullivan yang bertindak sebagai saksi dari pihak pemerintah mengatakan bahwa
Ebbers menginstruksikan dirinya untuk mencatatkan jumlah ke dalam neraca hingga
memenuhi ekspektasi Wall Street. Jaksa Agung AS Alberto Gonzales menyebut
keputusan ini sebagai 'kemenangan bagi sistem hukum'. Gonzales mengatakan, juri
telah mengenali bahwa kecurangan itu ditimbulkan dari manajemen tingkat
menengah hingga eksekutif puncaknya. Selain itu, Ebbers juga masih menghadapi
proses pengadilan sipil termasuk tuntutan dari perusahaan yang telah menjamin
US$ 400 juta pinjaman prbadinya. Sementara itu 12 mantan direktur perusahaan
termasuk satu bank investasi yang menjadiunderwriter dan auditor
Arthur Andersen juga menghadapi pengadilan sipil dari para investor yang marah.
Kaitan kasus WorldCom dengan Etika Bisnis:
Dalam kasus WorldCom,
jelas terlihat bahwa terjadi suatu tindakan yang melanggar etika bisnis dimana
pihak manajemen dan pemilik WorldCom melakukan suatu itikad bisnis yang tidak
baik. Manajemen WorldCom dengan sengaja memalsukan data keuangan mereka dengan
memasukan US$ 3,9 milyar dollar AS yang merupakan biaya operasi normal ke dalam
pos investasi hanya untuk agar kinerja mereka terlihat bagus yang diharapkan
akan dapat menarik minat investor untuk menanamkan modalnya ke perusahaan
mereka. Selain itu, pemilik WorldCom, Ebbers, juga melakukan suatu tindakan
yang menyimpang dari prinsip beretika dalam bisnis. Ia menyalahgunakan
wewenangnya sebagai pemilik untuk memperoleh keuntungan pribadi. Ini tentunya
sangat merugikan pihak lain, seperti investor dan kreditur karena mereka ditipu
atas adanya praktik kecurangan yang dilakukan oleh WorldCom.
Selain itu, KAP
Arthut Andersen yang seharusnya melakukan pengungkapan atas kecurangan yang
dilakukan oleh WorldCom, justru bekerjasama dengan manajemen untuk menutupi
kecurangan yang sebenarnya mudah dideteksi keberadaannya. KAP Arthur Endersen
dalam hal ini telah melanggar kode etiknya sebagai akuntan, yaitu bertanggung
jawab untuk menaikkan tingkat keandalan laporan keuangan perusahaan.
Dalam hal ini, yang
bertanggungjawab dalam kasus ini adalah:
1. Pihak
manajemen perusahaan
Pihak manajemen perusahaan dengan sengaja memalsukan
data keuangan mereka dengan memasukan US$ 3,9 milyar dollar AS yang merupakan
biaya operasi normal ke dalam pos investasi hanya untuk agar kinerja mereka
terlihat bagus.
2. Pemilik
perusahaan, yaitu Ebbers
Ebbers menyalahgunakan wewenangnya sebagai pemilik
untuk memperoleh keuntungan pribadi, dengan melakukan pinjaman sebesar US$ 400
juta dan menjadikan saham perusahaan sebagai jaminannya.
3. Auditor
internal perusahaan
Auditor internal perusahaan tidak menggungkapkan
kesalahan paktek-praktek akuntansi dan kecurangan akuntansi yang dilakukan
manajemen perusahaan. Mengingat nilai kapitalisasi yang begitu besar dan
pengaruhnya terhadap nilai pendapatan bersih dan total aktiva, harusnnya
praktik ini bisa diungkap lebih cepat.
4. Auditor
eksternal perusahaan, dalam hal ini KAP Arthur Endersen
KAP Arthur Anderson tahu mengenai salah saji yang
dilakukan pihak Worldcom. Karena seharusnya KAP Arthur Anderson bertugas untuk
mengaudit kesalah semacam itu, apalagi kesalah ini sangat material. KAP Arthur
Anderson seharusnya lebih peka terhadap kondisi keuangan Worldcom, yang dapat
mengakibatkan manajemen perusahaan melakuakan hal diluar kewajaran praktek
akuntansi.
Kasus Enron
Enron adalah sebuah
perusahaan energi Amerika yang berbasis di Houston, Texas, Amerika Serikat.
Perusahaan ini didirikan pada 1930 sebagai Northern Natural Gas Company, sebuah
konsorsium dari Northern American Power and Light Company,
Lone Star Gas Company, dan United Lights and Railways
Corporation. Kepemilikan konsorsium ini secara bertahap dibubarkan antara 1941
hingga 1947 melalui penawaran saham kepada publik. Pada 1979, Northern Natural
Gas mengorganisir dirinya sebagai perusahaan induk, Internorth, yang
menggantikan Northern Natural Gas di New York Stock Exchange. Enron sebelum
tahun 2001 mempekerjakan sekitar 21.000 orang pegawai dan merupakan salah satu
perusahaan terkemuka di dunia dalam bidang listrik, gas alam, bubur kertas dan
kertas, serta komunikasi (wikipedia.co.id).
Enron menyalahgunakan kekuatan ekonomi dan hubungan pribadi pada Arthur
Andersen untuk mencapai “pendekatan agresif dalam akuntansinya”. Tim Audit
Andersen yang dipimpin David Duncan kelihatannya mengakomodasi keagresifan
Enron. Ketika ada akuntan Andersen yang bereaksi secara tidak simpatik terhadap
upaya Enron untuk memaksimalkan laba atau untuk memanipulasinaturan akuntansi,
besar kemungkinannya dia digeser dari penugasannya di Enron yang prestisius.
Sejak tahun 1998 Enron mulai mengeluh terhadap keputusan-keputuwsan yang
dibuat Professional Standards Group (PSG). Sebenarnya PSG adalah
suatu lembaga kunci di Andersen yang mempunyai wewenang tertinggi menetapkan
hal-hal yang berkenaan dengan kebijakan akuntansi, atau masalah-masalah yang
mungkin timbul mengenai kebijakan akuntansi.
Pada 2 Desember 2001,
Enron mengajukan permohonan perlindungan Chapter 11 akibat kebangkrutan yang
melanda perusahaan tersebut. Kebangkrutan ini disebabkan kegagalan pada proses
bisnis dan manajemen (Eiteman, dkk, 2007). Juga akibat adanya penipuan akuntansi
yang sistematis, terlembaga, dan direncanakan secara kreatif (wikipedia.co.id).
Jeffrey Skilling
menjelaskan kebangkrutan Enron disebabkan terganggunya proses bisnis akibat credit
rating perusahaan menurun pada November 2001. Hal ini dikarenakan sebagai
perusahaan trading, membutuhkan rating nilai investasi untuk
melakukan perdagangan dengan perusahaan lain. Tidak ada nilai yang baik, maka
tidak akan ada perdagangan (Eiteman, dkk, 2007).
Terjadinya penurunan
nilai rating investasi perusahaan disebabkan hutangnya yang terlalu besar, yang
sebelumnya tidak tercatat dalam neraca (off balance sheet) kemudian
diklasifikasikan ulang sehingga tercatat dalam neraca (on balance sheet).
Hutangnya tidak hanya sebesar $13 juta tetapi bertambah hingga sebesar $38
juta. Klasifikasi ulang dilakukan karena terdapat banyak special
purpose entity (SPEs) dan kerjasama yang tidak tercatat dalam neraca
yang memiliki banyak hutang. Sehingga terjadi ketidakcocokan saat dilakukan
konsolidasi ulang yang kemudian menyebabkan nilai ekuitas perusahaan jatuh
(Eiteman, dkk, 2007).
Meningkatnya defisit
dalam arus kas perusahaan menyebabkan timbulnya masalah manajemen keuangan yang
mendasar pada Enron. Pertumbuhan perusahaan membutuhkan adanya modal eksternal.
Tambahan modal dapat diperoleh dari hutang baru dan ekuitas baru. Ken Lay dan
Jeff Skilling, enggan untuk menerbitkan jumlah besar dari ekuitas baru. Karena
akan mendilusi laba dan jumlah saham yang dipegang oleh pemegang saham. Pilihan
menggunakan utang juga terbatas, dengan tingkat utang yang tinggi menyebabkan
rating Enron hanya sebesar BBB, tingkat rating yang rendah oleh lembaga pemberi
rating (Eiteman, dkk, 2007).
Andrew Fastow bersama
dengan asistennya membuat SPEs, alat yang digunakan dalam jasa keuangan. SPEs
memiliki dua tujuan penting, pertama; menjual aset-aset yang bermasalah ke
rekanan. Enron menghilangkan aset tersebut dari neraca, mengurangi tekanan
akibat utang dan menyembunyikan kinerja buruk investasi. Hal ini dapat
mendatangkan dana tambahan untuk membiayai kesempatan investasi baru. Kedua;
memperoleh pendapatan untuk memenuhi laba yang disyaratkan oleh Wall Street.
SPEs dibiayai dari
tiga sumber; (1) ekuitas dalam bentuk saham treasury, (2) ekuitas dalam bentuk minimum 3% dari aset yang
berasal dari pihak ketiga yang tidak berhubungan, (3) jumlah yang besar dari
utang bank. Modal ini berada pada sisi kanan neraca SPEs, akan tetapi pada sisi
kiri modal digunakan untuk membeli aset dari Enron. Hal ini menyebabkan harga
saham SPEs berkaitan dengan harga saham Enron. Saat saham SPEs naik, maka saham
Enron ter-apresiasi. Sedangkan saat harga saham SPEs turun, maka harga saham
Enron ter-depresiasi (Eiteman, dkk, 2007).
Menurunnya harga
saham Enron hingga $47 per lembar saham pada bulan Juli 2001, menyebabkan
investor curiga. Hal ini menyebabkan Sherron Watkins, wakil presiden Enron
mencoba memperingatkan Kenneth Lay dengan membawa 6 lembar surat yang
menjelaskan proses akuntan yang tidak wajar sehubungan dengan SPEs dan
memperingatkan akan kecurangan proses akuntan. Akan tetapi peringatan Sherron
Watkins tidak dihiraukan oleh Ken Lay, sehingga terjadilah tsunami di Enron.
Harga sahamnya jatuh hingga tersisa $1 per lembar saham yang menyebabkan Enron
bangkrut. Pada Bulan Februari 2002, Sherron Watkins dipanggil oleh DPR untuk
menjelaskan skandal Enron, tentang aktivitas akuntansi perusahaan.
Kaitan Kasus Enron dengan Etika Bisnis:
Adapun
kaitan kasus Enron dengan Etika Bisnis, jika dilihat dari Ekspektasi Masyarakat terhadap Bisnis dan Akuntansi yaitu:
Jika
dilihat dari prinsip keuntungan dan etika:
Menurut teori fraud
ada 3 komponen utama yang menyebabkan orang melakukan kecurangan, menipulasi,
korupsi dan sebangsanya (prilaku tidak etis), yaitu opportunity; pressure; dan
rationalization, ketiga hal tersebut akan dapat kita hindari melalui
meningkatkan moral, akhlak, etika, perilaku, dan lain sebagainya, karena kita
meyakini bahwa tindakan yang bermoral akan memberikan implikasi terhadap kepercayaan
publik (public trust). Namun, hal tersebut tidak dilakukan olehEnron, yang
menjadikannya bangkrut dan hancur serta berimplikasi negatif bagi banyak pihak. Pihak
yang dirugikan dari kasus ini tidak hanya investor Enron saja, tetapi terutama
karyawan Enron yang menginvestasikan dana pensiunnya dalam saham perusahaan
serta investor di pasar modal pada umumnya (social impact). Milyaran
dolar kekayaan investor terhapus seketika dengan meluncurnya harga saham
berbagai perusahaaan di bursa efek. Jika dilihat dari Agency Theory, Andersen
sebagai KAP telah menciderai kepercayaan dari pihak stock holder atau principal
untuk memberikan suatu fairrness information mengenai
pertanggungjawaban dari pihak agent dalam mengemban amanah dari principal.
Pihak agent dalam hal ini manajemen Enron telah bertindak secara rasional untuk
kepentingan dirinya (self interest oriented) dengan melupakan norma dan
etika bisnis yang sehat.
Dalam kasus Enron
diketahui terjadinya perilaku moral hazard diantaranya manipulasi laporan
keuangan dengan mencatat keuntungan 600 juta Dollar AS padahal perusahaan
mengalami kerugian. Manipulasi keuntungan disebabkan keinginan perusahaan agar
saham tetap diminati investor. Dalam pihak Andersen sendiri pun mengalami
pergejolakan akan etika, dimana seorang staf PSG (Professional Standard
Group) yaitu Carl Bass tidak diperkenankan turut campur menangani Enron,
karena menentang kebijakan akuntansi yang diterapkan Enron. Sekalipun hal ini
diluar tradisi Andersen, dan ditentang oleh orang-orang penting PSG, tetap saja
Carl Bass tidak diperkenankan ikut campur. Akuntan Andersen yang lain juga
mengalami nasib yang sama, yaitu Jennifer Stevenson dan Pattie Grutzmacher.
Keduanya digeser dari bagian tertentu dalam audit Enron setelah mereka
mengambil posisi yang berlawan dengan keinginan klien. Selain itu, Tim audit
Enron yang dikepalai oleh David Duncan dan anggota senior dalam tim auditnya
mengabaikan saran PSG dan untuk tidak menggabungkan masing-masing SPEs menjadi
satu, walaupun sebenarnya di Andersen nasehat PSG tidak pernah diabaikan, dan
secara umum pendapat PSG lah yang menentukan. Ketika kasus ini menyeruak,
Duncan memerintahkan untuk menghancurkan seluruh dokumen Enron kecuali kertas
kerja audit inti. Hal ini untuk mencari jalan keselamatan, yang tidak sesuai
dengan etika.
Peran Pemerintah
Dalam
masalah Enron dan Andersen, kasus ini bergaung keras karena melibatkan
politisi-politisi penting. Enron mempunyai hubungan dekat dengan Presiden
George Bush. Enron sejak lama menjadi pendukung keuangan Bush. Keterlibatan
keuangan Enron melaampaui Gedung Putih, dan menyeret banyak kalangan dari
partai Republik. Dukungan keuangannya membuka kesempatan bagi Enron untuk
mendapat akses ke lembaga negara yang sensitif seperti Energy Committee-nya,
yaitu Wakil Presiden Richard Cheney. Sehingga, peran pemerintah secara
preventif dalam kasus ini menjadi tidak berfungsi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar